Minggu, 09 September 2012

Mimpi dan Realitas

Sebenarnya apa itu realitas? Sebenarnya apa itu mimpi? Bukankah dalam realitas kita menemukan hal-hal nan mustahil seakan berasal dari negeri dongeng? Bukankah dalam mimpi kita menemukan hal yang pasti seperti dalam realitas? Lalu dimanakah garis batas antara mimpi dan realitas itu? Apa ketika mimpi tak mampu diwujudkan? Atau ketika realitas terlalu baik seakan tidak nyata? Bukankah realitas juga berawal dari mimpi? Bukankah mimpi juga bersumber dari realitas yang dialami secara langsung dan membuat kita berandai-andai? Lalu dimana garis batas antara mimpi dan realitas? Dimana? 
Pertanyaan ini berkecamuk dalam benakku seperti badai yang menderu. Mengacaukan akal serta pikiranku. Semua ini bersumber darinya, seorang gadis yang telah aku tangisi lebih daripada semua orang yang aku kenal kecuali ibuku sendiri. Ia memutuskan untuk membuang mimpinya, tentang aku, tentang dia, tentang kami berdua. Pedih rasanya mengetahui keinginan dan kebutuhannya akan seorang yang nyata, yang mampu hadir bagi dirinya setiap saat, physically, namun tak dapat aku wujudkan. Aku terbatas. Aku hanya mampu hadir sebatas kata-kata dan suara, bukan keberadaan nyata seperti yang ia harapkan, hanya sebuah perwujudan dari alam mimpi dan khayalan. Aku pun turut membutuhkannya, namun sebelum ia berpikir realistis seperti sekarang ini, aku telah menetapkan bahwa ini semua sementara, proses ini tidak akan selamanya berjalan, dan aku harus mampu bertahan dalam proses ini. Awalnya memang berat, karena aku terus-menerus merindukan keberadaan dirinya, sebagai konsekuensi atas ketetapanku itu. Aku perlahan terbiasa, namun keterbiasaanku itu terusik ketika mengetahui keinginannya tadi. Aku pun sadar kalau aku juga membutuhkan dirinya secara nyata. Aku tertegun ketika mengetahui bahwa aku ini hanya berada dalam mimpinya, bukan kenyataannya. Aku hanya hidup dalam spektrum khayalan, bukan realitas. Aku seketika hancur, remuk, pecah, tak bersisa. Segera setelah semua ini aku merasakan kekosongan, kekosongan yang menyesakkan, menusuk, dan mematikan. Aku bahkan tak tertarik lagi untuk berbuat apa-apa. Semangatku lenyap. Secara fisik pun aku langsung melemah. Sungguh menyakitkan semua ini. Pada akhirnya aku hanya mampu menulis, baik di lembaran kertas maupun dalam dunia maya, berharap aku mampu menyalurkan rasa sakitku ini melalui tulisan. Berharap, dan hanya berharap..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar