Senin, 26 Maret 2012

BROMO 2011 – Sebuah Potret Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Seharusnya ini di post tahun lalu, 2011, namun baru sempat sekarang nih, langsung saja:

Liburan kali ini aku pergi ke Gn. Bromo yang terletak di Jawa Timur. Disana aku merasakan banyak hal, mulai dari dingin yang menggigit, debu vulkanik yang berterbangan dan menyesakkan nafas, serta banyak hal lainnya.

Hal utama yang menjadi fokus tulisanku sekarang ini adalah kondisi sosial di desa-desa sekitar Bromo. Selama aku disana, aku menggunakan ojek sebagai sarana transportasi, karena lebih mudah. Yang kemudian menjadi perhatianku adalah ketika tukang ojek yang mengantarkanku, menceritakan situasi di Bromo.

Ia adalah seorang tukang ojek yang berasal dari desa Tengger, dan ia berkata bahwa ia mengenal hampir semua orang yang berada di desa yang berada di seberang Bromo, melintasi bentangan padang pasir Gn. Bromo. Ia menceritakan bahwa apabila ada acara di desanya, ia bisa saja mengundang orang yang berada di desa seberang Bromo itu, dan mereka akan datang, melintasi bentangan padang pasir Bromo, begitu pula sebaliknya. Hal itu pun terlihat dari bagaimana ia menyapa hampir setiap orang yang berpapasan di jalan, dan yang disapa pun membalas sapaan itu.

Hal ini menjadi perhatianku karena aku melihat bagaimana kondisi masyarakat pedesaan di sekitar Bromo yang bisa saling mengenal walau terpisah oleh bentangan padang pasir Gn. Bromo. Hal ini menurutku sangat baik karena hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar Gn. Bromo adalah masyarakat yang ramah, yang masih penuh rasa sosial.

Mari kita bandingkan dengan kita yang berada di perkotaan ini, yang mungkin hanya mengenal segelintir orang yang tinggal bersama kita dalam satu perumahan. Padahal, jarak antara kita tidak dipisahkan oleh tingginya gunung maupun luasnya bentangan padang pasir seperti di Bromo. Boro-boro mengenal orang yang berada di perumahan lain, tetangga sebelah sendiri mungkin kita tidak mengenal dan mungkin kita agak sungkan dan malu untuk menyapa orang yang tidak kita kenal apabila berpapasan di jalan.

Apakah tinggal di daerah perkotaan telah melemahkan rasa sosial manusianya, karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing dan merasa tidak perlu untuk berinteraksi dengan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan urusan kita? Kita sering ditekankan dari sejak duduk di bangku sekolah bahwa manusia adalah makhluk sosial, namun tampaknya hal tersebut semakin lama semakin pudar dengan hadirnya teknologi yang memungkinkan kita berinteraksi tanpa bersusah payah bertemu muka, cukup menekan tombol, dan viola kita sudah dapat berkomunikasi dengan orang lain. Tampaknya, teknologi yang memudahkan manusia dalam hidupnya, turut berperan serta dalam membuat manusia itu sendiri kehilangan rasa sosialnya, dan lama-lama manusia itu akan hidup dalam solitaritas karena terbiasa berinteraksi via alat elektronik dan tidak bertemu muka lagi. Hal ini mungkin kedepannya akan menyulitkan manusia sendiri, karena sudah tidak terbiasa berbicara bertatap muka, ia akan kehilangan kemampuannya berkomunikasi sebagai makhluk sosial.

Inilah akhir tulisanku mengenai liburanku ke Bromo, semoga berguna untuk menyadarkan kembali arti “Manusia adalah makhluk sosial”. Apabila ada kesalahan kata, mohon dimaafkan.

Bogor, 22 Juni 2011

Ray Maximillian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar