Kamis, 10 Mei 2012

Antara Akal dan Hati

Tabir kenyataan terangkat,
Kebenaran terungkap
"Aku mau, 
Namun aku tak bisa"

Alasan terutarakan
Aku tertawa mendengarnya
Namun dalam hati
Aku gundah dan goyah

Akalku mengerti
Namun hatiku tak mau menerima
Bibirku tersenyum
Namun jiwaku bersedih

Aku terduduk,
Terdiam
Merengkuh lututku,
Merenung

Aku berusaha mencerna
Semua perkataanmu
Akalku menerima
Hatiku menutup mata dan telinga

Aku takut
Engkau akan berubah
Engkau takkan lagi mengingat
Semua kenangan kita

Akal dan hatiku bertentangan
Akal menyuruh melupakan
Hati tak ingin melepaskan
Gundah, goyah

Maafkan aku, 
Yang masih tak mampu merelakanmu


Jakarta, 9 Mei 2012

Malam pun Hanya Diam

Malam pun menjadi hening, 
Menyaksikan kepiluan seorang anak manusia
Menjadi saksi bisu
Sebuah hati yang tersayat

Angin tak berdesir,
Serangga tak berbisik,
Mendengar sedu sedan teredam
Yang sungguh mengibakan

Kata-kata
Tak lagi mampu melukiskan
Dalamnya derita,
Tersiksanya hati

Malam sungguh menjadi hening,
Diam tak bersuara
Menyaksikan hancurnya
Sebuah hati yang kecil

Air mata menitik,
Tak lagi tertahankan
Anak manusia menangis
Namun tanpa suara

Hatinya tersiksa, 
Hancur dan remuk redam
Diremas hingga hancur
Hancur, tak bersisa

Ya,
Malam pun hanya diam
Tak mampu berkata
Tak mampu berujar

Dalam kegelapan malam,
Seorang anak manusia
Menangis tersedu
Tanpa suara

Ya, 
Malam hanya dapat terdiam


Jakarta, 8 Mei 2012

Jumat, 04 Mei 2012

Disturbed

Aku sudah membuat keputusan pada hari Rabu kemarin, untuk menjadi hanya sebatas kakak, teman, sahabat baginya. Namun, aku masih merasakan sebuah perasaan ganjil dalam hatiku ketika ia berbicara mengenai laki-laki lain kepadaku. Aku mau mendukungnya, mendukung semua yang ia lakukan, mendukung konsistensi keputusannya untuk tidak kembali kepadaku, namun tak kusangka rasa sakitnya sampai seperti ini. Kini, ia telah berhasil sedikit banyak menjalin komunikasi dengan laki-laki itu, dan dalam hatiku aku berkata, "ia akan sepenuhnya takkan kembali lagi padaku." Ya, aku merasa bahwa kesempatan ia akan kembali padaku sudah sepenuhnya tertutup dan takkan terbuka lagi, karena ia telah berhasil menjalankan caranya untuk melupakanku itu. Namun, caraku untuk melupakannya tak dapat berhasil. Ketetapan hatiku sedikit terganggu dengan hal ini. Keputusanku seakan goyah dalam menghadapi ini. Aku berusaha, sungguh berusaha untuk dapat mendukungnya saja, dan tidak mempermasalahkan mengenai memulai kembali hubungan kami kembali, karena aku sudah tahu alasannya mengapa ia tak mau kembali padaku. Namun, semua ini, sungguh sakit. Aku mencoba untuk bersikap biasa, tapi yang kurasa malah perasaan aneh yang mengganjal ini. Mungkin aku masih tak rela dengan keadaan ini, karena dalam hatiku aku masih mengharapkan ia akan kembali padaku, karena sesungguhnya aku masih menunggunya. Aku tak ingin mengganggu ia dalam usahanya melupakan aku ini, namun entahlah, aku masih tak bisa rela. 

Rabu, 02 Mei 2012

Final Decision

Hari ini, Rabu 2 Mei 2012, aku menyatakan bahwa aku sudah sungguh berniat untuk melepaskan dirinya. Aku sadar, bahwa memang ia tak mau kembali lagi padaku dan memulai hubungan kami kembali. Entah darimana datangnya keberanian ini dan ketetapan hati ini, namun yang jelas datangnya bukan dari seorang perempuan lain atau siapapun, itu datang dari dalam hatiku sendiri. Dalam hatiku, aku memang masih tak ingin melepasnya, namun aku sudah berjanji untuk tetap menunggunya, dan janji itu tampaknya yang menguatkanku untuk akhirnya rela melepasnya. Ketetapan hati ini kudapat setelah semalam aku kembali bertanya padanya untuk kembali padaku. Aku sadar bahwa aku tak pantas untuk terus mengejarnya setelah ia menetapkan hatinya. Ia akhirnya menjadi seperti yang ia inginkan, ia telah menjadi dewasa, telah mampu bersikap konsisten dengan perkataannya bahwa ia takkan kembali padaku. Ada sebuah perasaan terluka, namun ada perasaan bangga juga, karena aku mampu membawanya dan membantunya hingga ia mampu bersikap konsisten seperti itu. Aku telah memilih untuk tetap mendampingi dirinya, bukan sebagai seorang kekasih, namun sebagai seperti sebuah "tempat sampah", dimana ia bisa bercerita sesuka hatinya tentang kesenangan, kekesalan, dan kesedihan, atau apapun juga itu. Aku memilih untuk tetap hadir untuknya, meski bukan sebagai seorang kekasih, aku menjadi seorang teman, sahabat, dan seorang kakak bagi dirinya, meski dalam hati aku masih berharap suatu saat ia akan kembali padaku (LOL). Yah, yang jelas aku dan dia telah membuat keputusan dalam hidup kami, dalam hubungan kami, dan aku sungguh senang karena sedikit banyak telah membantunya menjadi lebih dewasa sehingga ia mampu bersikap konsisten dengan perkataannya. 

Here is a short poem:

Hey there,
Thank you for our relationship,
For everything we've went through together
Even though it was really short,
It's really meaningful

Now, 
You've made your decision
And,
I made mine

I do really proud of you,
Of your consistency,
Of your matureness

Now,
We've separated,
But, 
I'll always be here for you,
To listen to all your stories

Yes,
I believe,
If you're really meant for me,
Then,
Someday, we'll be together again

Thanks a lot,
For my dearest


Okay, so everything is done, for now. I'll not forget everything that happened in past 2 months. Once again, thanks a lot, dear.

(For my dearest J.K., love you, so much)